Jumat, 26 September 2008

Kontroversi Pendidikan Profesi Guru

Oleh: Waras Kamdi

The power to change education—for better or worse—
is and always has been in the hands of teachers
(Judith Lloyd Yero, 2003).

Begitu strategisnya posisi guru dalam pendidikan, maka tidak salah jika pemerintah memprioritaskan peningkatan mutu pendidik melalui Pendidikan Profesi Guru sebagai kunci peningkatan mutu pendidikan nasional.
Melalui partisipasi guru, sadar atau tidak, guru secara individual memiliki kekuatan untuk membuat usaha pembaruan pendidikan yang berhasil atau sebaliknya, merusaknya.


Melalui situsnya, beberapa pekan terakhir, Direktorat Ketenagaan Ditjen Pendidikan Tinggi memublikasikan Rancangan Permendiknas Pendidikan Profesi Guru disertai Pedoman Pendidikan Profesi Guru Pra-jabatan, dan Naskah Akademiknya.

Sebenarnya, sejak diedarkan terbatas Juni 2007, Rancangan Pendidikan Profesi Guru itu telah menuai kontroversi. Perbedaan pandangan mencuat tajam antara tim ad hoc dengan sejumlah tokoh dan pemerhati pendidikan guru dalam pertemuan yang digelar Ditjen Dikti di Hotel Jayakarta Jakarta, 30 Maret 2008. Namun, hingga draf rancangan yang dipublikasikan itu, nyaris tak ada perubahan berarti.

Inti masalah terletak pada kecermatan akademik dalam Rancangan Pendidikan Profesi Guru yang secara konseptual tidak memadai, bahkan dikesankan banyak pihak, telaah akademiknya dikerjakan serampangan dengan pendekatan berpikir kira-kira.

Pedoman pendidikan dan Rancangan Permendiknas-nya pun mengidap cacat bawaan dari naskah akademik. Jika rancangan ini terus menggelinding menjadi ketetapan Permendiknas, dikhawatirkan akan melengkapi pengalaman pahit Presiden Yudhoyono setelah ”Super Toys” dan ”Banyu Geni”.

Selain itu, grand design Pendidikan Profesional Guru dalam rangka Sertifikasi Guru menjadi makin tidak jelas juntrungnya.

Kekacauan konsep

Ada frase yang dikacaukan satu sama lain kemudian mengundang kontroversi, yaitu ”Pendidikan Profesional Guru”, ”Pendidikan Guru Konsekutif”, ”Pendidikan Guru Terintegrasi (Concurrent)”, ”Pendidikan Akademik Guru”, dan ”Pendidikan Profesi Guru”.

Dalam praktik pendidikan guru di Tanah Air dikenal Pendidikan Guru Konsekutif (untuk PGSM) dan Pendidikan Guru Terintegrasi (khusus untuk PGSD). Pendidikan Guru Konsekutif dimulai dengan penguasaan disiplin ilmu tertentu sesuai mata pelajaran di sekolah menengah, lalu ditambah (plug-in) penguasaan kemampuan ilmu kependidikan.

Jenis pelaksanaannya, Pendidikan Guru Konsekutif dilakukan dalam jalur kependidikan maupun jalur nonkependidikan yang kemudian menambah paket kependidikan. Sedangkan Pendidikan Guru Terintegrasi sejak awal pendidikan, penguasaan disiplin ilmu yang diajarkan di SD dan penguasaan pedagogisnya dilakukan secara terintegrasi. Pada program S-1, keduanya berujung diperolehnya ijazah (akademik) sarjana pendidikan (SPd) sehingga disebut ”Pendidikan Akademik Guru”.

Keberadaan Pendidikan Profesi Guru menjadi tuntutan setelah UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan guru profesional harus memiliki sertifikat pendidik. Lazimnya seperti dilakukan pada bidang kedokteran, akuntan, atau lawyer, Pendidikan Profesi Guru dilakukan secara internship setelah melalui pendidikan akademik. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik ”mencemplungkan diri” menerapkan kemampuan akademik dalam kegiatan profesi guru di sekolah disertai mekanisme penyeliaan yang sistematis dan dalam waktu memadai.

Maka, Pendidikan Profesi Guru harus mensyaratkan peserta penyandang SPd, baik yang berasal dari jalur Pendidikan Konsekutif maupun Pendidikan Guru Terintegrasi.

Pendidikan akademik dilakukan dalam basis kampus, berujung diperolehnya ijazah sarjana. Sedangkan pendidikan profesi dilakukan secara internship di sekolah, berujung didapatnya sertifikat. Semua proses pendidikan guru, mulai dari pendidikan akademik hingga diteruskan ke pendidikan profesi guru disebut ”Pendidikan Profesional Guru”.

Kekacauan konsep dalam Rancangan Permendiknas bermula dari Naskah Akademik dan Pedoman Pendidikan Profesi Guru versi Ditjen Dikti karena tidak mampu membedakan ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang akademik dengan ”Pendidikan Profesi Guru” yang internship.

Pasal 10 Struktur Kurikulum yang terdiri mata kuliah akademik dan pendidikan bidang studi ditambah Praktik Pengalaman Lapangan, dan Pasal 11 tentang Beban Belajar dengan rentang 18-40 >small 2small 0<, jelas menunjukkan, yang dimaksud ”Pendidikan Profesi Guru” dalam Rancangan Permendiknas ini tidak lain adalah ”Pendidikan Guru Konsekutif” yang bercirikan pendidikan akademik, nyaris tak beda atau reinkarnasi program Akta bagi S-1 nonkependidikan yang dikenal selama ini.

Ini berarti bagi peserta S-1 dan D-IV (jika ada) kependidikan akan mengulang ”cerita” pendidikan akademiknya dan bagi peserta S-1 dan D-IV nonkependidikan selayaknya menempuh ”Pendidikan Guru Konsekutif” guna mendapatkan ”Pendidikan Akademik Guru”. Singkat kata, ”Pendidikan Profesi Guru” yang bercirikan kegiatan internship yang dimaksud sebenarnya belum berhasil dirumuskan.

Reformasi LPTK

Pasal 3 Rancangan Permendiknas menyebutkan, program Pendidikan Profesi Guru diselenggarakan LPTK yang terakreditasi dan ditetapkan pemerintah. Pengalaman praktis LPTK sebatas menyelenggarakan pendidikan guru konsekutif dan konkuren melalui aneka jenis paket kependidikan, dan menghasilkan sarjana pendidikan (akademis) yang ditandai perolehan ijazah dan gelar SPd.

Pendidikan Profesi Guru melalui internship di sekolah minimal satu tahun itu pasti bukan format praktik pengalaman lapangan (PPL) yang selama ini dikenal di LPTK, yang masih dalam ranah pendidikan akademik guru. Dengan kerangka pikir baru, Pendidikan Profesional Guru dilakukan berjenjang dari pendidikan sarjana akademik di LPTK lalu pendidikan profesi setelah sarjana, maka reformasi kurikulum LPTK secara menyeluruh dan pengembangan Pendidikan Profesi Guru menjadi keniscayaan dalam pengembangan Pendidikan Profesional Guru.

Sejalan dengan itu, LPTK perlu mengembangkan program operasional internship Pendidikan Profesi Guru yang belum pernah ada, dengan penyeliaan yang sistematis berbasis sekolah laboratorium atau sekolah mitra.

Memerhatikan dampak yang luas dalam sistem pendidikan di Tanah Air, formulasi pendidikan profesional guru tak boleh dilakukan grusa-grusu, ”kejar tayang”, hanya untuk memenuhi target proyek. Dalam hal ini, kita perlu lebih arif karena kini saatnya menata Pendidikan Profesional Guru secara cermat dan sungguh-sungguh untuk menuai generasi guru baru yang ”perkasa” mengubah mutu pendidikan, mengubah menjadilebih baik, dan bukan merusaknya.
Sumber : WWW.Klubguru.com

Baca Selengkapnya...

Minggu, 21 September 2008

Quo Vadis SBI?

Quo Vadis Sekolah Berstandar Internasional?
Oleh : Syamsir Alam, Tim Pendidikan Yayasan Sukma"In times of drastic change, it is the learners who inherit the future." (E Hoffer)Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003, pemerintah memperkenalkan klasifikasi sekolah baru. Sekolah itu antara lain disebut sekolah bertaraf internasional (SBI), sekolah dengan kategori mandiri (SKM), dan kelompok sekolah biasa (SB). Pada SBI, pihak penyelenggara pendidikan diberi ruang untuk menggunakan silabus pembelajaran dan penilaian yang umumnya dipakai pada sekolah menengah di negara-negara yang tergabung dalam OECD. Silabus pembelajaran dan penilaian itu hanya berfungsi sebagai bahan pengayaan terhadap kurikulum nasional (KTSP). Sementara itu, untuk sekolah dengan kategori mandiri, pihak penyelenggara pendidikan dapat memakai sistem kredit semester (SKS) sebagaimana lazimnya di perguruan tinggi.

Di sisi lain, sekolah biasa hanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan secara klasikal dan dengan menggunakan KTSP. Meskipun klasifikasi sekolah itu mungkin dipandang baik untuk mendorong perubahan dan meningkatkan kualitas pendidikan, karena sosialisasinya belum berjalan maksimal, hasilnya masih sedikit membingungkan masyarakat.Pada 2004/05, SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Labschool mulai mengadopsi silabus Cambridge Advance Level (A Level) guna memperkaya kurikulum nasional pada siswanya. Selanjutnya program yang sama diperkenalkan di SMA Negeri 8 Jakarta, SMA Negeri 21 Jakarta, dan SMA Negeri 68 Jakarta. Sekarang, sekolah bertaraf internasional (SBI) itu sudah tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Tanah Air. Diperkirakan, menjelang berakhirnya tahun anggaran 2009, jumlah SBI akan mencapai 260 sekolah, terdiri dari SMA 100 sekolah, SMP (100), dan SMK (60) yang diharapkan akan mampu melepaskan predikat sekolah rintisannya (Pena Pendidikan/edisi daring, 28 Maret 2008).Good practiceMeskipun penyelenggaraan program kualifikasi internasional masih relatif singkat, beberapa sekolah yang menggunakan Cambridge IGCSE/A Level di Jakarta sudah mulai berhasil menunjukkan hasil kerja kerasnya. Prestasi dan kemajuan yang diperoleh itu merupakan hasil pembinaan, dampingan, dan pengawasan yang dilakukan secara sistematis, teratur, dan terukur oleh tim pengembang SBI yang dibentuk Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Provinsi DKI Jakarta. Hal itu dapat dilihat dari semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi (reflective teaching and learning) serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan multikultural sebagaimana dibuktikan saat mereka melayani siswa dengan kemampuan, kecepatan, dan minat yang beragam. Guru dalam SBI semakin memahami makna dari konsep pembelajaran deep-learning, higher order thinking skills, dan contextual learning bagi siswa dan semakin mengetahui keterbatasan dan manfaat dari pembelajaran rote learning yang selama ini biasa dipakai di sekolah. Sementara itu, kemajuan pada siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, dan risk taking.Hasil perolehan siswa pada ujian IGCSE dalam tiga tahun pertama (2005-2007) cukup menggembirakan. Sebagaimana diketahui, program Cambridge A Level merupakan golden standard-nya Cambridge International Examination (CIE) yang sertifikatnya sudah diakui sejumlah universitas ivy league mancanegara, seperti University of Cambridge, Oxford University, Harvard University, MIT, dan Stanford University. Kelebihan lain dari program ini adalah pembelajaran dan penilaian Cambridge IGCSE lebih menekankan pada kemampuan pemecahan masalah, menumbuhkan pemikiran kreatif, dan autentik (contextual learning), maka materinya terkesan sedikit lebih sulit. Pada IGCSE, hampir seluruh mata pelajaran yang dipilih (matematika, english as a second language, fisika, kimia, dan biologi), prestasi siswa sangat memberikan harapan seperti terlihat pada grafik perbandingan hasil IGCSE 2005-2006 dan 2006-2007 di bawah ini.;;;;;;Bahkan untuk mata pelajaran matematika, rata-rata siswa SMA negeri Jakarta yang memperoleh nilai (C-A) persentasenya lebih besar daripada siswa 140 negara partisipan silabus Cambridge IGCSE di seluruh dunia. Hasil IGCSE dan A Level periode 2005-2007 itu cukup memberikan gambaran bahwa siswa-siswa sekolah menengah kita juga mampu menunjukkan prestasi internasional mereka meskipun tanpa harus mengeluarkan anggaran sangat besar seperti pada kegiatan Olimpiade Sains dan Matematika.Perkembangan SBI sejauh ini dapat dijadikan sebagai indikator akan besarnya minat dan keinginan pengelola pendidikan pada tingkat sekolah dan madrasah untuk melakukan inovasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Rasa ingin tahu dan keberanian untuk mencoba mulai tumbuh dengan positif dan menggembirakan. Namun, yang agak sedikit merisaukan dari temuan kami di beberapa daerah, ternyata kecepatan sekolah-sekolah dalam melakukan perubahan (mengadopsi silabus pembelajaran dan penilaian asing) masih belum diimbangi dengan upaya yang sistematis untuk memperkuat dan meningkatkan mutu sumber daya kependidikan (kepala sekolah, guru, dan manajemen), membangun sistem kontrol dan akuntabilitas atas seluruh kegiatan akademis dan administrasi keuangan sekolah. Akibatnya, pertumbuhan SBI yang begitu cepat itu malah menimbulkan masalah, kontraproduksi, dan kehilangan arah (sense of direction). Dengan hilangnya pesan perubahan, yang sebelumnya tecermin dari perubahan manajemen sekolah yang menjadi lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif, program SBI ini diduga hanya akan membawa kecemasan baru pada masyarakat. Masih lemahnya mutu pengelolaan SBI diakui Surya Dharma PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas. Dari 260 kepala sekolah SBI yang diberikan tes kemampuan bahasa Inggris, TOEIC, menurut Surya Dharma, hanya 10% yang memiliki kemampuan memadai, sedangkan sisanya, 90% kemampuannya hanya mencapai skor 245, artinya masih di bawah tingkat dasar (elementary). Data lain, hasil ujian IELTS guru yang akan diproyeksikan dapat mengajar pada kelas rintisan internasional menunjukkan keadaan yang serupa. Dari sekitar 40 peserta, kurang dari 20% yang mampu memperoleh skor IELTS antara 4,0-4,5, sedangkan sisanya hanya memperoleh skor antara 2,5-3,7. Padahal seorang guru diizinkan mengajar program internasional harus memiliki skor minimal 6,5 pada IELTS (atau skor 550 pada TOEFL). Hasil penilaian terhadap kompetensi akademis dan kemampuan pedagogis guru pengajar menunjukkan keadaan hampir sama, memprihatinkan.Atas dasar itu, Depdiknas diharapkan dapat sedikit menahan dan mengendalikan pertumbuhan sekolah-sekolah SBI. Depdiknas harus berani untuk mulai melakukan refleksi terhadap konsep dan pelaksanaan SBI sejauh ini. Depdiknas (direktorat-direktorat pembina tingkat pusat, pusat kurikulum, pusat penilaian, dan dinas pendidikan) harus dapat duduk bersama untuk merumuskan kembali kebijakan tentang SBI dengan lebih baik dan terukur. Depdiknas harus dapat menyusun roadmap SBI, revisited curriculum framework, mengkaji ulang standar, penilaian, dan evaluasi program yang digunakan selama ini. Agar hasil kajian itu dapat lebih optimal hasilnya, Depdiknas hendaknya dapat juga melibatkan sekolah-sekolah yang tergabung dalam national school plus (NSP) dan institusi pendidikan lainnya yang sudah berpengalaman dan berhasil mengelola program pendidikan internasional (international credentials). Depdiknas harus berusaha melepaskan sikap memiliki (possessive) yang berlebihan dan mulai menumbuhkan kemampuan bekerja sama (collaborative works) dengan lembaga/individu di luar pemerintah (non state agencies) yang mungkin selama ini dipandang sangat kritis terhadap beberapa kebijakan pemerintah.Upaya peningkatan mutu pendidikan haruslah didukung dengan program pengembangan guru, kepala sekolah, dan manajemen (capacity building), yang dilakukan secara sistematis, terukur, dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh stakeholder pendidikan. Pemahaman terhadap pentingnya pembangunan sumber daya kependidikan (SDK) secara berkelanjutan itu harus ditanamkan pada setiap pengelola dan pelaksana kebijakan pendidikan pusat dan daerah. Selain itu, fungsi dan peranan kepala sekolah harus selalu semakin diefektifkan terutama yang berkaitan dengan manajemen pembelajaran (instructional management) serta monitoring dan evaluasi (monev). Kepala sekolah harus dapat menjadi teladan dan sumber inspirasi bagi guru, siswa, dan manajemen sekolah lainnya. Lebih dari itu, kepala sekolah bersama pemangku pendidikan lainnya harus mampu membangun dan mengembangkan visi bersama sekolah dan mewujudkannya secara bersama pula. Setiap perubahan pasti akan melahirkan tantangan dan harapan baru. Namun, sebagaimana dikemukakan Hoffer pada awal tulisan ini, hanya bagi mereka yang mampu menjaga dan memupuk motivasinya untuk terus belajar (learner) yang akan dapat mewarisi dan mengendalikan masa depan planet yang selalu berubah ini.
Sumber:http://mediaindonesia.com
Baca Selengkapnya...